Ibu
Jasmin, demikian ia dipanggil kesehariannya, adalah seorang Ibu Rumah Tangga
yang skaligus wanita karir di salah satu perusahaan di negeri ini. Beliau
merasa sudah terlambat untuk pergi ke kantor, padahal 30 menit kemudian ia
telah merencanakan rapat rutin pimpinan di perusahaan tersebut. Saat itu… ibu
Jasmin sedang meminta (dengan sedikit memaksa)….John anak semata wayangnya yang
masih berumur 3 tahun untuk mengganti pakaiannya, agar dapat segera ke tempat
Orangtua Ibu Jasmin yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya untuk “menitipkan”
anaknya.
Setelah
cepat-cepat makan pagi dan ribut sedikit mengenai pakaian mana yang akan
dipakai dan dibawa, John pun jadi tegang. Ia tidak peduli ibunya harus
menghadiri rapat dalam waktu 30 menit lagi. Kata John ,“Ibu,….John ingin
tinggal dirumah saja dan bermain bersama ibu, ibu nggak boleh pergi”.
Ketika ibu
Jasmin mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin, ibu harus pergi ke kantor dan tidak bisa ditunda karena harus ikut
rapat sekarang, maka muncullah ketegangan diantara mereka berdua. Ketegangan
mereka nampak memuncak,….dan…. seperti yang pembaca terka,…kemudian…. John pun
menjatuhkan dirinya ke lantai,… menangis sekeras-kerasnya karena sedih dan
marah kepada ibunya.
Sahabat Golden Family yang berbahagia, kisah diatas menunjukkan adanya
dinamika emosi yang senantiasa berkembangan dalam diri anak. Dalam kondisi
seperti ini, semua orangtua akan menghadapi masalah yang sama yakni
bagaimanakah menghadapai anak ketika emosinya semakin “memanas”. Kebanyakan
dari orangtua akan memperlakukan anaknya dengan sebaik-baiknya namun kadang
kebaikan itu dibumbui dengan tawaran “sogokan” pada anak agar anak mau
mengikuti kemauan orangtuanya seperti memberi janji membeli mainan yang bagus
asal anak tidak menangis lagi. Padahal, bukan mainan yang bagus tersebut yang
dituntut dan dibutuhkan oleh anak, apalagi disertai “sogokan” yang bisa memberi
dampak jelek pada anak. Anak hanya membutuhkan ajaran bagaimana mengenali dan
mengelola emosiya yang kini sedang tidak baik. Oleh karenanya para orangtua
membutuhkan lebih banyak dari hanya sekedar kemampuan intelektual (IQ) untuk
menangani berbagai problematika anak.
Menjadi orangtua yang baik
seharusnya dapat menyentuh dimensi kepribadian yang sering kali terabaikan
bahkan tidak jarang orangtua telah mengambil keputusan-keputusan penting yang
kurang matang karena diambilya disaat marah. Menjadi orangtua yang baik
seharusnya melibatkan emosi dan spiritualitas dalam menyikapi berbagai
dinamikan kehidupan keluarganya.
Kehidupan
keluarga sesungguhnya merupakan sekolah kita dan yang pertama pelajaran yang
harus kita pelajari adalah pelajaran emosi, demikian yang di katakana oleh Daniel Goleman, seorang psikologi dan
penulis buku terlaris Emotional
Intelligence. Beliau mengatakan bahwa dalam wadah besar keluarga yang
sakral, kita belajar bagaimana merasakan tentang diri kita sendiri dan
bagaimana orang lain bereaksi terhadap perasaan kita. Demikian juga, bagaimana
memikirkan perasaan ini dan pilihan apa yang kita miliki untuk bereaksi,
bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan serta perasaan takut agar tidak
berdampak kurang baik.
Menjadi “pelatih” emosi dalam keluarga
dapat kita latih dengan cara melakukan dan mengatakan secara langung pada anak
saat anak sedang mengalami emosi (positif/negatif) atau memberi contoh-contoh bagaimana orangtua
menangani perasaannya disaat berkomunikasi dengan istrinya/suaminya. Memang ada,
orangtua yang bisa menjadi “pelatih” emosi yang berbakat, ada juga yang kurang
berbakat meskipun tetap bisa di asah bila memiliki kemauan yang kuat.
Sahabat,
…bagaimana kalau sekarang saya ajak untuk menyelesaikan masalah yang di alami
oleh Ibu Jasmin di atas? Mau kan?.
Dengan demikian kita bisa langung praktek bagaimana menjadi “pelatih” emosi
yang baik tanpa harus ikut workshop dan seminar keluarga yang sering saya
lakukan.
Langkah
pertama adalah kita harus menyadari adanya emosi anak:
Jasmin : Ayo , pakai pakaianmu , John. Sudah waktunya pergi.
John :
Tidak ! Aku tidak mau pergi ke tempat ke tempat nenek.
Jasmin : Kamu tidak mau pergi ? Mengapa tidak ?
John : Karena aku ingin di rumah saja bersama Ibu.
Jasmin : Oh begitu.
John : Ya , aku sangat ingin dirumah saja.
Langkah
kedua adalah mengakui emosi anak sebagai proses pembelajaran anak:
Jasmin : Wah , Ibu rasa Ibu tahu perasaanmu. Suatu hari Ibu ingin bisa duduk
santai di kursi dan melihat-lihat buku bersamamu , bukannya buru- buru pergi. John sudah tahu kan ? Ibu sudah
ada janji penting dengan orang-orang di kantor. Ibu harus ada di sana 30 menit
lagi dan Ibu tidak bisa melanggar janji itu.
John (mulai menangis) :
Tapi , mengapa tidak bisa ? Ibu jahat. Aku tak mau pergi.
Langkah
ketiga adalah mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak
saat itu:
Jasmin : Kemarilah sayang (panggilan kesayangannya). (Sambil memangkunya).
Maafkan Ibu , ya sayang , tapi kita tak mungkin tinggal di rumah. Ibu tahu ini
membuatmu tidak enak , bukan ?
John : Ya (sambil mengangguk).
Jasmin : Dan sedikit sedih ya nak.
John : Ya.
Langkah
keempat adalah menemukan label emosi yang sedang dialami oleh anak:
Jasmin : Ibu juga sedih. (Ia membiarkan John menangsi sebentar dan terus
memeluknya sambil mengusap air matanya). Ibu tahu apa yang dapat kita lakukan.
Nanti kita pikirkan besok pagi karena besok Ibu tidak pergi ke kantor. Kita
bisa seharian bersama. Apa yang ingin kamu lakukan besok,sayang ?
John : Makan panekuk dan nonton film kartun ?
Jasmin : Tentu , bagus sekali. Lainnya lagi ?
John : Bisa tidak aku membawa keretaku ke taman ?
Jasmin : Ibu rasa bisa.
John : Bisa tidak Eko ikut juga ?
Langkah
kelima adalah menentukan batas-batas emosi dan membantu memecahkan masalah
anak:
Jasmin : Barangkali. Kita harus Tanya ibunya dulu. Tapi sekarang kita harus
pergi , Ya ?
John : Ya.
Alangkah
bahagianya keluarga kita, anak-anak kita bila para orang tua trampil menjadi
“pelatih” emosi anaknya. Yuk…menjadi pelatih emosi keluarga kita…!
DokterKeluarga Emas, Pendiri IGF (Indonesian Golden
Family), Direktur GoldenFamilyInstitute, Deklarator INS (Indonesian
Neuroscience Sosiaty, Parenting Neuroscience,
Pembicara Berbagai Seminar Golden Family.
Twitter :@amirzuhdi
Email : dr.amir_zuhdi@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar