Laman

Jumat, 18 Mei 2012

BILA KEYAKINAN NEGATIF MERUSAK KEDAMAIAN KELUARGA Oleh Dr.Amir Zuhdi


Sahabat saya yang sangat mencintai dan menyayangi istrinya, tiba-tiba dibuat pusing tujuh keliling oleh istrinya. Ia minta agar suaminya menceraikan dirinya. Padahal, saya sangat menyayanginya, semua kebutuhan telah tercukupi, uang bulanan tercukupi bahkan lebih, di rumah ada 2 pembantu (pembantu masak dan pembantu cuci baju), kebutuhan anak-anak semuanya tercukupi, setiap minggu pasti ke supermarket dan tidak ketinggalan makan di salah satu restoran setiap minggunya, demikian keluhan yang di sampaikan oleh sahabat saya itu. Aku sendiri akhirnya menarik nafas panjang sambil berpikir dan berdo’a, ya Tuhan kurang apa sebenarnya keluarga ini dan semoga Engkau memberikan KekuatanMU agar aku bisa membuka tabir masalah yang menyelimuti keluarga sahabatku ini.
Setelah panjang lebar melakukan sesi konseling dengan Istri sahabatku, aku mulai mendapatkan titik terang bahwa masalah yang melilit keluarga ini bukan karena masalah uang, bukan karena masalah perselingkuhan, bukan karena masalah anak, melainkan masalah pikiran yakni pikiran negative (prasangka negative) yang selalu menghantui pikiran istri sahabatku. Sumber persoalannya ternyata, Istri sahabatku itu selalu dihantui oleh mantan kekasih suaminya yang menurut dia akan mengganggu ketentraman keluarganya. Padahal suaminya sudah bersumpah bahwa itu tidak mungkin mencintai mantan kekasihnya, karena ia sangat mencintai istrinya. Bayangkan, setiap sang istri mendengar nama orang yang sama dengan nama mantan kekasih suaminya, apakah dari televisi, radio atau sumber lainnya pasti ia memberi reaksi negatif, seperti banting pintu, banting barang. Bahkan pernah merobek dan membanting buku hanya karena di dalam buku itu tertera tulisan yang sama dengan nama mantan kekasih suaminya. Wow….”teriak” dalam benakku.
Sahabat, ayo siapa yang tahu, apa gerangan yang terjadi pada istri sahabatku itu? Dalam pikiran sang istri ternyata telah terbentuk “keyakinan” traumatik yang berhubungan dengan mantan kekasih suaminya. Keyakinan traumatik inilah yang mengakibatkan sang istri bersikap dan berperilaku seperti membanting pintu, merobek buku dan yang lainnya.
            Kita ketahui bahwa keyakinan atau belief system adalah pikiran yang diciptakan dengan peneguhan yang berulang-ulang pada pikiran bawah sadar sehingga menjadi pikiran “pasti” atau “benar” tentang sesuatu. Keyakinan bisa berdampak positif atau negative, tergantung dari persetujuan kita dan yang kita benarkan. Keyakinan positif akan mendukung kinerja kita menjadi semakin prestatif. Sedangkan Keyakinan negative akan menjadi penghambat kinerja kita meraih prestasi.
            Seperti yang dialami oleh istri sahabatku itu, ia selalu berpikir bahwa mantan kekakasih suaminya yang bernama Intan (bukan nama sebenarnya) pasti akan menjadi pengganggu ketentraman keluarganya. Pikiran seperti itu di ulang-ulang dan diakui kebenarannya. Semakin diulang pikiran itu maka pikiran menjadi semakin kuat dan dirasakannya seperti sebuah “kenyataan”. Maka ketika sang istri mendengar atau melihat tulisan Intan, secara otomatis pikirannya menghubungan tulisan Intan itu dengan masalah yang akan menimpa keluarganya, maka ia berteriak, melempar buku atau menutup pintu secara keras. Suasana seperti ini akan mengganggu kedamaian dalam keluarga dan membuat hidupnya tidak nyaman.
            Untuk memperbaikinya, diperlukan upaya yang sangat luar biasa, terutama kesadaran dari sang istri bahwa keyakinan yang ada dalam pikirannya itu tidak benar dan ia memiliki kemauan secara ikhlas untuk memperbaiki keyakinan (dalam pikirannya) yang salah itu. Memperbaiki atau mengobati memang jauh lebih sulit dari pada mencegah, benar kan. Oleh karena, saya akan beri 3 tips agar pikiran kita tidak menjadi penghuni keyakinan yang negatif :
1.      SAYA SELALU MEMPERKECIL PIKIRAN NEGATIF DAN PERBANYAK BERPIKIR POSITIF
Perkataan dan perilaku kita adalah cerminan isi pikiran kita. Membiasakan berkata dan berperilaku positif akan menjadi “belief system” (keyakinan) kita yang luar biasa. Ia akan mengantarkan kita menjadi pribadi yang tangguh dan berharga tinggi. Demikian juga sebaliknya. Kalimat “Saya nggak bisa” dan gantilah dengan “Saya harus maksimalkan potensi saya” atau kaliamat  “Pekerjaan ini susah skali”  dan gantilah dengan “Pekerjaan ini perlu cara lain untuk menyelesaikannya.”
2.      SAYA TIDAK MENGIKUTI PERBINCANGAN NEGATIF ,KARENA IA “KANKER” MENTALKU
Membiasakan perbincangan negatif (ngerumpi negative) sesungguhnya akan mensugesti diri kita untuk menikmati berbincang negatif. Lama kelamaan, perbincangan negative ini akan masuk dalam pikiran bawah sadar kita menjadi “belief” (keyakinan) yang bisa mengganggu prestasi kehidupan kita. Maka, temen saya yang psikolog mengatakan bahwa perbincangan negatif laksana kanker mental kita. Tanpa kita sadari, ia akan menjadi penghacur mental kita. Bila kita membiasakan perbincangan negatif, kanker mental ini akan memastikan kita :  mudah rasa kuatir, menumpuknya rasa pemalas, tidak produktif, pencari kambing hitam, pengangguran,
Solusinya….? Ya…jauhi saja perbincangan negatif itu atau pilihlah berkumpul dengan orang yang senang berbincang positif. Coba rasakan,…pasti damai……
3.      SAYA PAHAMI DAN JALANKAN….PANDUAN HIDUPKU
Apa panduan hidup kita ? Setelah mengetahui, bersegaralah memahami dan menjalankan panduan hidup itu, agar kita tidak terjebak dalam jebakan kehidupan yang membuat kita keluar dari “orbit” kedamaian dan kebahagiaan.
Agar kita selalu bersikap dan berperilaku positif_”SPP”(sikap perilaku positif), maka pelajari, pahami dan jalankan semua panduan hidup kita khususnya yang berhubungan dengan: keyakinan, harapan, kebahagiaan,kemuliaan, ketangguhan, kecemerlangan.
Sahabat, semoga bermanfaat.

SMS (ceramah GF)     : 081356783032 ; 0831 3117 6680
Email (konsultasi)       : dr.amir_zuhdi@yahoo.com
Twitter                                    :@amirzuhdi
Facebook                     : http://www.facebook.com/dr.amir.zuhdi

Rabu, 09 Mei 2012

MENJADI “PELATIH” EMOSI DALAM KELUARGA Oleh dr.Amir Zuhdi



Ibu Jasmin, demikian ia dipanggil kesehariannya, adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang skaligus wanita karir di salah satu perusahaan di negeri ini. Beliau merasa sudah terlambat untuk pergi ke kantor, padahal 30 menit kemudian ia telah merencanakan rapat rutin pimpinan di perusahaan tersebut. Saat itu… ibu Jasmin sedang meminta (dengan sedikit memaksa)….John anak semata wayangnya yang masih berumur 3 tahun untuk mengganti pakaiannya, agar dapat segera ke tempat Orangtua Ibu Jasmin yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya untuk “menitipkan” anaknya.
Setelah cepat-cepat makan pagi dan ribut sedikit mengenai pakaian mana yang akan dipakai dan dibawa, John pun jadi tegang. Ia tidak peduli ibunya harus menghadiri rapat dalam waktu 30 menit lagi. Kata John ,“Ibu,….John ingin tinggal dirumah saja dan bermain bersama ibu, ibu nggak boleh pergi”.
Ketika ibu Jasmin mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin, ibu harus pergi ke kantor  dan tidak bisa ditunda karena harus ikut rapat sekarang, maka muncullah ketegangan diantara mereka berdua. Ketegangan mereka nampak memuncak,….dan…. seperti yang pembaca terka,…kemudian…. John pun menjatuhkan dirinya ke lantai,… menangis sekeras-kerasnya karena sedih dan marah kepada ibunya.
            Sahabat Golden Family yang berbahagia, kisah diatas menunjukkan adanya dinamika emosi yang senantiasa berkembangan dalam diri anak. Dalam kondisi seperti ini, semua orangtua akan menghadapi masalah yang sama yakni bagaimanakah menghadapai anak ketika emosinya semakin “memanas”. Kebanyakan dari orangtua akan memperlakukan anaknya dengan sebaik-baiknya namun kadang kebaikan itu dibumbui dengan tawaran “sogokan” pada anak agar anak mau mengikuti kemauan orangtuanya seperti memberi janji membeli mainan yang bagus asal anak tidak menangis lagi. Padahal, bukan mainan yang bagus tersebut yang dituntut dan dibutuhkan oleh anak, apalagi disertai “sogokan” yang bisa memberi dampak jelek pada anak. Anak hanya membutuhkan ajaran bagaimana mengenali dan mengelola emosiya yang kini sedang tidak baik. Oleh karenanya para orangtua membutuhkan lebih banyak dari hanya sekedar kemampuan intelektual (IQ) untuk menangani berbagai problematika anak.
            Menjadi orangtua yang baik seharusnya dapat menyentuh dimensi kepribadian yang sering kali terabaikan bahkan tidak jarang orangtua telah mengambil keputusan-keputusan penting yang kurang matang karena diambilya disaat marah. Menjadi orangtua yang baik seharusnya melibatkan emosi dan spiritualitas dalam menyikapi berbagai dinamikan kehidupan keluarganya.
Kehidupan keluarga sesungguhnya merupakan sekolah kita dan yang pertama pelajaran yang harus kita pelajari adalah pelajaran emosi, demikian yang di katakana oleh Daniel Goleman, seorang psikologi dan penulis buku terlaris Emotional Intelligence. Beliau mengatakan bahwa dalam wadah besar keluarga yang sakral, kita belajar bagaimana merasakan tentang diri kita sendiri dan bagaimana orang lain bereaksi terhadap perasaan kita. Demikian juga, bagaimana memikirkan perasaan ini dan pilihan apa yang kita miliki untuk bereaksi, bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan serta perasaan takut agar tidak berdampak kurang baik.
            Menjadi “pelatih” emosi dalam keluarga dapat kita latih dengan cara melakukan dan mengatakan secara langung pada anak saat anak sedang mengalami emosi (positif/negatif)  atau memberi contoh-contoh bagaimana orangtua menangani perasaannya disaat berkomunikasi dengan istrinya/suaminya. Memang ada, orangtua yang bisa menjadi “pelatih” emosi yang berbakat, ada juga yang kurang berbakat meskipun tetap bisa di asah bila memiliki kemauan yang kuat.
Sahabat, …bagaimana kalau sekarang saya ajak untuk menyelesaikan masalah yang di alami oleh Ibu Jasmin di atas?  Mau kan?. Dengan demikian kita bisa langung praktek bagaimana menjadi “pelatih” emosi yang baik tanpa harus ikut workshop dan seminar keluarga yang sering saya lakukan.
Langkah pertama adalah kita harus menyadari adanya emosi anak:
Jasmin       : Ayo , pakai pakaianmu , John. Sudah waktunya pergi.
John          : Tidak ! Aku tidak mau pergi ke tempat ke tempat nenek.
Jasmin       : Kamu tidak mau pergi ? Mengapa tidak ?
John          : Karena aku ingin di rumah saja bersama Ibu.
Jasmin       : Oh begitu.
John          : Ya , aku sangat ingin dirumah saja.
Langkah kedua adalah mengakui emosi anak sebagai proses pembelajaran anak:
Jasmin       : Wah , Ibu rasa Ibu tahu perasaanmu. Suatu hari Ibu ingin bisa duduk santai di kursi dan melihat-lihat buku bersamamu , bukannya buru-   buru pergi. John sudah tahu kan ? Ibu sudah ada janji penting dengan orang-orang di kantor. Ibu harus ada di sana 30 menit lagi dan Ibu tidak bisa melanggar janji itu.
John (mulai menangis)      : Tapi , mengapa tidak bisa ? Ibu jahat. Aku tak mau pergi.
Langkah ketiga adalah mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak saat itu:
Jasmin       : Kemarilah sayang (panggilan kesayangannya). (Sambil memangkunya). Maafkan Ibu , ya sayang , tapi kita tak mungkin tinggal di rumah. Ibu tahu ini membuatmu tidak enak , bukan ?
John          : Ya (sambil mengangguk).
Jasmin       : Dan sedikit sedih ya nak.
John          : Ya.
Langkah keempat adalah menemukan label emosi yang sedang dialami oleh anak:
Jasmin       : Ibu juga sedih. (Ia membiarkan John menangsi sebentar dan terus memeluknya sambil mengusap air matanya). Ibu tahu apa yang dapat kita lakukan. Nanti kita pikirkan besok pagi karena besok Ibu tidak pergi ke kantor. Kita bisa seharian bersama. Apa yang ingin kamu lakukan besok,sayang ?
John          : Makan panekuk dan nonton film kartun ?
Jasmin       : Tentu , bagus sekali. Lainnya lagi ?
John          : Bisa tidak aku membawa keretaku ke taman ?
Jasmin       : Ibu rasa bisa.
John          : Bisa tidak Eko ikut juga ?
Langkah kelima adalah menentukan batas-batas emosi dan membantu memecahkan masalah anak:
Jasmin       : Barangkali. Kita harus Tanya ibunya dulu. Tapi sekarang kita harus pergi , Ya ?
John          : Ya.

Alangkah bahagianya keluarga kita, anak-anak kita bila para orang tua trampil menjadi “pelatih” emosi anaknya. Yuk…menjadi pelatih emosi keluarga kita…!

DokterKeluarga Emas, Pendiri IGF (Indonesian Golden Family), Direktur GoldenFamilyInstitute, Deklarator INS (Indonesian Neuroscience Sosiaty, Parenting Neuroscience,
Pembicara Berbagai Seminar Golden Family.

Twitter                        :@amirzuhdi
Facebook         : http://www.facebook.com/dr.amir.zuhdi
Email               : dr.amir_zuhdi@yahoo.com

Kamis, 03 Mei 2012

THE POWER OF GOLDEN FAMILY” dr.Amir Zuhdi (Pendiri IGF_Indonesian Golden Family)

PENGANTAR
Survei negara-negara maju tahun 1980-an. Anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah, lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas, impulsif dan agresif. Seperti yang dikatakan oleh Shandel bahwa bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia pada zaman sekarang bukanlah ledakan bom atom, tetapi perubahan fitrah. Unsur kemanusiaan dalam diri manusialah yang sebenarnya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat, hingga yang tercipta sekarang ini adalah ras-ras non manusia_”mesin” berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.
Disisi yang lain, pendidikan didalam keluarga masih sangat rendah, kebanyakan diserahkan pada hasil sekolah, yang masih mengandalkan IQ sebagai parameter keberhasilan. Namun muncul berbagai permasalahan pada anak-anak, yang dibawanya hingga mereka berkeluarga, seperti masalah komitmen, integritas, semangat, kreativitas, inovasi dan konsistensi, kemampuan berkomunikasi lisan, kemampuan mendengar, kerja-sama, adaptasi dan ketahanan mental terhadap kegagalan.
Di era modern saat ini, keluarga berkeemasan (golden family) telah menjadi bagian kebutuhan penting dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidak ada kata sulit untuk mewujudkannya. Pedoman “buku” kehidupan yang telah diberikan Tuhan dan dicontohkan oleh para Utusan Tuhan dalam menjalani kehidupan keluarganya telah terbukti kebenarannya. Keluarga berkeemasan (golden family) itu bernama Keluarga Sakinah yakni sebuah tatanan keluarga yang berisikan dengan nilai-niai Ilahiyah, yang menjadikan kehidupan keluarga dipenuhi suasana kedamaian, ketentraman, saling mencinta dan berkasih-sayang. Keluarga seperti ini akan senantiasa menjaga kebersihan hati dan keluhuran budi, saling memahami, cerdas, penuh inovasi dengan tetap tunduk dan patuh pada seluruh ketentuan Tuhan Pencipta Manusia. Di dalam keluarga berkeemasan (golden family) akan tercetak manusia bermartabat, berharga diri yang tinggi, berketangguhan dan unggul dalam setiap langkahnya. Keluarga yang mencetak manusia emas.
Negara Indonesia yang kini berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa* adalah kumpulan dari keluarga yang jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta keluarga, menempati lebih dari 12.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Bila keluarga berisi manusia-manusia “emas”, maka keluarga yang dibangunnya pun akan menjadi keluarga berkeemasan dan Negara Indonesia pun akan menjadi Negara yang berkeemasan.(*BPS 2010). Dengan dasar pemikiran inilah, saya menggagas berdirinya suatu organisasi perkumpulan keluarga (Famil Community) yang bernama IGF (Indonesian Golden Family). IGF akan menyatukan seluruh keluarga Indonesia yang memiliki satu cita-cita yakni Keluarga Indonesia yang memasuki peradaban keemasan. Dalam melakukan misinya, IGF memiliki satu panduan program pembinanaan keluarga yang bernama “The Power of Golden Family”.
The Power of Golden Family adalah panduan pembinaan keluarga yang berisikan tentang pentingnya membangun keluarga berkeemasan dengan memahami tata cara pengelolaan keluarga, merangcang perencanaan keluarga dan membangun ketangguhan anggota keluarga, dengan menerapkan 5 elemen inti keluarga sukses dalam keluarganya_Nurani, Prinsip Ilahi, Cita-cita Surgawi, Ketangguhan Insani dan Sinergi-Kolaborasi. Biar mudah diingat, ke 5 elemen inti saya visualisasikan dalam Model Rumah GF yang bernama : The AGH Model atau The A Golden Home Model.
Tujuan utama dari panduan ini adalah agar memudahkan untuk mewujudkan keluarga yang memiliki karakter baik (good family character) yaitu keluarga yang tentram dan damai, saling menebarkan cinta dan kasih sayang serta keluarga yang penuh keberkahanNya sehingga mampu “mencetak” anak-anak yang berakhlaq mulia, cerdas pikirannya, bertanggung jawab dan tangguh dalam kehidupannya.

Ini adalah potongan pengantar dalam buku kita, buku yang saya dedikasikan untuk keluarga hebat Indonesia. Cita-cita kita bersama,...
Salam GF
dr.AmirZuhdi